Mimpi bagai kekuatan positif untuk mengangkat seseorang lebih tinggi dari keadaan sebelumnya. Sekalipun tidak tercapai, kekuatan tersebut membuka jalan lain utuk membuatnya lebih baik.
Teman saya kuliah di Program Pascasarjana, Universitas Negeri Medan, tahun 2013, mengingatkan saya akan sebuah mimpi yang masih terus menjadi mimpi sampai saat ini. DIa meneruskan kepemimpinan di Yayasan Pendidikan yang dibuka oleh orangtuanya. Ketika dia mempromosikan sekolahnya ke masyarakat setempat, dia menawarkan sekolahnya dari pintu ke pintu. Sehingga orangtua benar-benar berinteraksi dengan pimpinan sehingga orangrtua benar-benar mengetahui sekolah yang cocok dengan anaknya dan pihak sekolah mengetahui apa yang diinginkan masyarakat. Teman ini mengingatkan saya akan mimpi saya yang pernah muncul jauh lama sebelum saya menjadi salah seorang pengajar di sekolah negeri di Kota Pematangsiantar.
Tahun 2007 ketika saya masih seorang mahasiswa semester VII di Universitas Negeri Medan (UNIMED), ada salah satu mata kuliah yang harus diikuti, Praktik Penyuluhan Lapangan Terpadu (PPL-T). PPL-T merupakan program perkuliahan wajib pada Lembaga Perguruan Tinggi Kependidikan (LPTK) dengan bobot 8 SKS. PPL-T mengirimkan mahasiswa ke sekolah-sekolah yang bekerjasama dengan universitas untuk mempraktikkan kompetensi dan keterampilan yang diajarkan pada perkuliahan di kampus. Jadi, selama mengikuti PPL-T, mahasiswa tidak hanya mengajar tetapi juga melakukan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat yang ada di sekitar sekolah. Kegiatan penyuluhan dapat berupa kegiatan keagamaan, keolahragaan, atau kegiatan yang bermasyarakat.
Kala itu, universitas mengirim saya dan teman-teman dari mahasiswa jurusan lain ke salah satu sekolah swasta di Kota Tebing Tinggi. Selama saya melaksanakan PPL-T di sekolah tersebut, saya mengamati siswa di lingkungan sekolah. Setiap hari saya melihat siswa mengenakan seragam namun dengan tata pakaian yang sembarangan. Banyak siswi yang mengenakan pakaian yang tidak mencerminkan seorang pelajar. Rok yang relatif mini (jauh diatas lutut), dasi yang diikatkan pada leher baju dengan kancing bagian atas terbuka. Namun pemadangan berbeda dengan gurunya, bapak guru disekolah ini diwajibkan mengenakan pakaian rapi lengkap dengan dasi, dan ibu guru mengenakan pakaian resmi dan rapi.
Karena tidak sesuai dengan yang saya pahami selama kuliah, saya tegur seorang siswi untuk memperbaiki cara berpakaiannya. Tidak beberapa lama, kepala sekolah memanggil saya ke kantornya. Saya masih sangat ingat, kala itu Bapak itu berkata, "Pak, sekolah kita ini adalah sekolah swasta yang sangat tergantung dengan jumlah siswa. Jika kita tidak punya siswa (sedikit) maka akan berdampak guru-guru yang ada di sini. Maklum Pak, kita dapat gaji dari mereka. Jadi, saya harap, Bapak selama PPL di sini tidak terlalu ambil pusing dengan siswa, apalagi hanya sekedar berpakaian".
Dari peristiwa itu, selama mengikuti PPL-T saya hanya sekedar mengajar tanpa peduli dengan perilaku siswa. Saya yang hanya merasa sebagai mahasiswa praktek merasakan bahwa ada karakter guru yang terkekangi, lalu bagaimana dengan guru yang ada disini. Namun, guru di sini juga pasrah dengan keadaan, mereka seolah kompromi dengan keadaan demi pemenuhan kebutuhan sekalipun ada perasaan yang tertekan. Ini bisnis, bukan sekolah. Pendidikan menjadi nomor dua demi sebuah keuntungan. Dari sinilah muncul mimpi itu. Saya ingin membangun sebuah sekolah atau yayasan pendidikan yang benar-benar bertujuan untuk mendidik bukan untuk mencari keuntungan.
Bahkan jika kita lihat sampai saat ini masih banyak sekolah yang lebih mencari keuntungan daripada pendidikannya. Ada beberapa guru yang pernah berbincang-bincang dengan saya, mereka seolah tidak memiliki harga diri, yang penting bagi yayasan adalah siswa yang terdaftar disekolah tersebut membayar iuran sekolah. Padahal jika kita lihat saat ini, pemerintah membantu biaya operasional melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang besarannya sama dengan sekolah negeri. Ini artinya, bahwa sekolah setidaknya dapat memfokuskan visi sekolah untuk mencapai misinya.
Bangun dan Mimpi masih Sama
Inilah mimpi yang sedang saya coba wujudkan. Saya coba pelajari cara membuka sekolah, ternyata memang memerlukan biaya yang besar. Awalnya saya komunikasikan dengan orangtua, beliau menyambut baik, dia sarankan untuk membuka yayasan dulu. Selanjutnya saya dan beliau berusaha untuk mempelajari cara untukmembuka yayasan. Wow, ternyata tidak semudah yang saya pikirkan. Harus urus lokasi, urus notaris, kepengurusan dan lain sebagainya yang membuat saya semakin tertekan. Kami menyerah dan mimpi saya masih tetap mimpi.
Kemudian muncul secerca sinar harapan dalam mewujudkan mimpi. Kementrian Pendidikan membuka jalan dengan lebar bagi masyarakat yang mau berpartisipasi dalam membuka sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Bersama dengan saudara saya, kami mencoba mempelajari untuk membukanya. Kami berputar menemukan lokasi yang tepat dan untuk siapa sasaran sekolah ini diadakan. Sampai akhirnya kami menemukan sebuah lokasi, jauh dari rumah, ada tempat yang bisa dikontrak. Namun, mungkin karena memang waktu yang tidak tepat, tempat yang mau dikontrak itu telah dikontrak terlebih dahulu oleh toko waralaba. Lagi-lagi, mimpi masih sama.
Sulit dan hampir menyerah. Saya bangun dan ternyata mimpi masih sama. Saya coba bangun dan mengerjakannya, namun masih tetap sama. Sekarang, saya pasrah dan realistis, membangun sekolah memang harus memiliki modal besar. Sementara untuk mengumpulkan modal rasanya mustahil.
Ini yang saya yakini, dalam mimpi saya, masih ada harapan dan kekuatan. Sekolah yang saya impikan saya bangun dengan jalan lain. Sekolah yang sedang saya bangun dengan mengajak anak didik kumpul bersama seusai pulang sekolah. Terkadang kami berkumpul untuk berolahraga, kadang kami saling berdiskusi mengenai pelajaran. Intinya kami berkumpul untuk hal positif dengan memanfaatkan lingkungan sekolah. Harapannya, saya selaku pengajar mengerti yang mereka mau dan siswa termotivasi untuk lebih ubtuk belajar.
Mungkin mimpi saya akan tetap menjadi mimpi. Tetapi ada bagian minpi yang menjadi pandangan dan kekuatan baru. "Sekolah tidak dibatasi oleh gedung, karena sekolah seharusnya bertujuan mewujudkan manusia seutuhnya. Ada atau tidak ada gedung, sekolah harus menjadi wadah pembentukan karakter manusia. Pandangan baru yang nemberikan kekuatan untuk memberikan pengajaran terbaik kepada siswa di tempat saya mengajar."
Tulisan telah dipublikasikan di kompasiana.com pada tanggal 25 Mei 2016.
EmoticonEmoticon