Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengajak pelaku pendidikan dan juga peserta didik yang mengikuti Ujian Nasional (UN) 2016 untuk mengutamakan kejujuran. Hal ini diharapkan untuk membentuk karakter jujur peserta didik yang selama ini telah dinodai ketika pelaksanaan UN.
Dengan alasan "kasihan" jika tidak lulus, para peserta didik "dididik" untuk berlaku curang. Namun, semenjak tahun 2015, tidak ada patokan nilai sebagai persyaratan lulus bagi peserta didik. Ini sedikit memberikan kelegaan, namun yang menjadi pertanyaan, apakah seluruhnya benar-benar jujur ketika melaksanakan UN 2016?
Kemendikbud baru saja merilis bahwa kejujuran siswa dalam pelaksanaan UN tahun 2016 meningkat. Hal ini dilihat dari peningkatan Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN). IIUN merupakan penilaian baru yang dimunculkan oleh Kemdikbud dengan cara mengamati kesamaan pola jawaban peserta didik dalam mengikuti UN. Semakin sama polanya, maka Indeks Integritasnya semakin kecil.
UN SMP tahun 2016 diikuti sejumlah 4.372.872 siswa dan 60.067 satuan pendidikan. Sebanyak 72 persen sekolah mengalami peningkatan IIUN, dibandingkan dengan tahun lalu. Sehingga, terdapat kenaikan jumlah sekolah yang memiliki IIUN di atas 80, yaitu sebanyak 23.634 sekolah atau setara 44,03 persen. Tercatat, pada tahun 2015, terdapat sebanyak 12.039 sekolah yang memiliki nilai IIUN di atas 80 atau sebesar 23,44 persen. (Sumber: Siaran Pers Kemdikbud - Indeks Integritas Ujian Nasional SMP/MTs Meningkat 10 Juni 2016)
Dari informasi yang disampaikan oleh Kemdikbud, hanya ada 44,03 persen sekolah yang memiliki IIUN diatas 80, sisanya sebesar 56,97 persen IIUN dibawah 80. Sekalipun meningkat, ini masih sangat mengawatirkan karena masih banyak sekolah yang masih berusaha untuk berbuat curang dalam pelaksanaan UN. Lalu IIUN ini untuk apa?
Berdasarkan sumber yang diperoleh dari Kemdikbud, sekolah yang memiliki IIUN tinggi akan diberikan piagam dan prasasti yang bertuliskan "Sekolah Berintegritas" untuk dipajang di sekolah yang diserahkan langsung oleh Bapak Presiden RI, Joko Widodo dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswdan. Sebuah bentuk apresiasi yang baik bagi sekolah. Namun, apakah ini benar-benar cukup untuk masyarakat yang anaknya bersekolah di sekolah tersebut?
***
Faktanya dilapangan, seorang ibu menelpon saya. Ibu ini adalah orang tua dari siswa yang berprestasi di sekolah saya mengajar. Ibu ini mengeluhkan bahwa karena dia berdomisili di kabupaten yang berbeda, jadi anaknya (siswa saya) harus melalui jalur Luar Kota.
Dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2016, peserta didik yang mendaftar dibagi dua kategori, dari dalam kota dan luar kota. Dalam kota, itu bagi siswa yang berdomisili satu kota (Daerah tingkat II) dengan sekolah yang didaftar (ditunjukkan dengan kartu keluarga) dan luarkota bagi siswa yang berdomisili berbeda kota (Daerah tingkat II) dengan sekolah yang didaftarkan. Untuk luar kota, kuota siswa yang diterima dibatasi, yaitu sekitar 10 persen dari jumlah peserta didik yang diterima disekolah tersebut. Misalnya, sekolah tersebut menerima 300 peserta didik baru, maka untuk jalur luarkota, peserta didik yang diterima 30 orang, dan jalur dalam kota 270 orang.
Hasil UN anak ibu ini (siswa saya) tidaklah buruk, dengan rata-rata 80,63. Nilai yang jauh diatas rata-rata nasional, yang berkisar 58,57. Namun, pada akhirnya siswa tersebut tidak lulus diterima sebagai siswa baru untuk semua sekolah negeri di kota saya mengajar. Karena untuk semua sekolah negeri di kota saya mengajar, nilai terendah untuk jalur luarkota adalah 90,00.
Persitiwa diatas memang dapat terjadi karena nilai UN peserta didik dari luarkota lebih tinggi dari UN siswa dalam kota. Namun, apakah memang nilai UN yang diperoleh dengan kejujuran seperti apa yang diharapkan oleh Kemdikbud? Lalu dimanakah peran IIUN untuk penerimaan peserta didik baru?
Inilah yang menjadi dilema, untuk apa jujur jika harus mengalami "penderitaan" oleh ketidakjujuran? Masih banyak masyarakat (juga sekolah) yang berpikiran skeptis atas prasasti semata. Masyarakat (juga sekolah) masih menghalalkan segala cara agar anaknya lebih terlihat berprestasi walaupun bukan berdasarakan kemampuannya.
***
Masyarakat tentunya sangat mengapresiasi perhatian pemerintah dalam bidang pendidikan untuk membentuk karakter peserta didik yang baik. Selain membentuk kecerdasan yang tinggi, Kemdikbud berupaya membentuk peserta didik yang berkarakter, agar kedepan pemimpin masa depan Indonesia jauh dari masalah korupsi.
Namun, perlu perhatian lebih untuk hal kejujuran ini. Sekedar saran,
Alangkah lebih baik jika penerimaan peserta didik tidak hanya berdasarkan nilai UN saja tetapi juga dengan melibatkan IIUN sekolah peserta didik berasal.
Dibuat standar IIUN untuk sekolah, bagi sekolah yang memiliki IIUN rendah perlu adanya sanksi ringan, sedang, dan berat. Jika ternyata dari tahun ke tahun IIUN masih rendah, sekolah tersebut ditutup.
Dengan demikian IIUN bukan sekedar wacana yang asal muncul tetapi dapat dipertanggungjawabkan. Semoga kelak, Prestasi dan Kejujuran berjalan Selaras dalam pendidikan di Indonesia.
Tulisan ini telah dipublikasika di kompasiana.com pada tanggal 30 Juni 2016.
EmoticonEmoticon