"Kenapa anak saya tinggal kelas? Anak saya tidak pernah cabut, tidak merokok, tidak memperkosa seperti yng di televisi, tidak menngunakan napza." Teriak seorang ibu di ruang BP karena tidak terima anaknya tinggal kelas. Kemudian setelah diberikan penjelasan kriteria kenaikan, ibu itu dengan emosinya mengoyak buku rapor anaknya sambil berucap kata-kata kasar dan jorok. Ibu itu pergi meninggalkan sekolah. Namun tidam berapa lama, dia iembali datang dengan suaminya dengan cara yang tidak sopan sembari mencaci maki mencari orang yang bertanggung jawab atas ketidaknaikan anaknya. Pihak sekolah berupaya menjelaskan namun kedua orangtua tersebut berperilaku arogan menjurus membuat kerusuhan.
Sepaham saya, ketika masih menjadi pelajar hingga sekarang menjadi pengajar, naik dan tinggal kelas merupakan hak lumrah dalam proses pendidikan di sekolah. Karena di dalam proses pendidikan sekolah, tepatnya proses belajar mengajar, terdiri dari tahap rencana, pelaksanaan, dan evaluasi.
Melalui tahap demi tahap, peserta didik dibimbing untuk menguasai materi pelajaran (kognitif), meningkatkan keterampilan (psikomotorik), dan berkarakter (afektif). Ketiga tahap inilah yang menjadi kriteria kenaikan kelas ataupun kelulusan. Dengan menimbang kriteria ini, dalam rapat dewan guru (evaluasi), peserta didik diputuskan layak atau tidak. Atau dapat juga dirumuskan, dalam pengambilan keputusan naik atau tinggal kelas, ada proses panjang yang harus dilalui.
Peristiwa hari ini, dalam pemahaman saya, mengundang evaluasi lanjutan dari proses pendidikan selama ini. "Tak ada asap jika tak ada api". Peristiwa ini terjadi mungkin akibat perubahan pemahaman pendidikab.
Mungkin peristiwa yang sama juga terjadi di beberapa sekolah lainnya di Indonesia. Peristiwa ini seolah mengisyaratkan adanya pemahaman yang salah akan pelaksanaan selama ini.
Untuk memudahkan pemahaman, beberapa contoh berikut menjadi alasan keluarga (orangtua) "termanjakan" dalam kesewenangan pendidikan.
Orangtua mewujudkan sayang yang salah. Anggapan yang salah bahwa rasa sayang terhadap anak dengan memberikan semua apa yang diminta anak. Sebaiknya, rasa sayang diwujudkan dengan memenuhi apa yang benar menjadi kebutuhan anak.
Masih berkaitan dengan pemahaman rasa sayang yang salah. Orangtua sering menyalahangunaan Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA). UUPA menjadi senjata atas usaha melindungi kenakalan anak-anak, tanpa melihat kronologi peristiwa. Bahkan ketika nengetahui kronologi sebenarnya, orangtua masih acapkali menganggap anaknya tidak pernah salah. Tidak sedikit orangtua yang juga mencari keuntungan atas UUPA ini
Keterpurukan Ujian Nasional. Selama 10 tahun, pelaksanaan UN mengundang banyak kecurangan. Kecurangan ini yang "meninabobokan" fungsi orangtua sebagai pengawas perkembangan anak. Adanya upaya pemaksaan kelulusan peserta didik mencapai 100% menjadi alasan orangtua beranggapan apapun tingkah anaknya, pasti akan lulus.
Ketiga alasan ini yang membuat orangtua merasa kenaikan atau kelulusan merupakan hak yang harus diterima seorang anak jika ia bersekolah.
Sebagai pendidik, melalui tulisan ini saya mengajak orangtua sebagai mitra dalam mendidik dan membangun karakter anak. Memang ada rasa tidak enak ketika harus mengetahui anak tinggal kelas, tetapi lebih tidak baik membiarkan anak hidup dalam ketertinggalannya.
Sepertinya hal belajar mengendarai sepeda, ada anak yang harus jatuh berulangkali sampai akhirnya dia mahir mengendarainya. Tapi apakah kita akan menghentikan anak belajar naik sepeda ketika dia terjatuh? Atau apakah kita dikatakan tidak sayang ketika kita melihat anak kita terluka ketika jatuh belajar mengendarai sepeda?
Sayangi anak Anda dengan kasih yang benar jika ingin ia hidup.
Tulisan ini telah dipublikasikan di kompasiana.com pada tanggal 04 Juni 2016
EmoticonEmoticon