11/4/16

DEMI SURGA ADA DI BUMI

Heaven | Sumber: blog.sina.com

Ribuan pagi telah berlalu
Indah kelam silih berganti menyelimuti semangat janji
Untuk satu hari yang tak pasti
Surga ada di bumi

Pagi ini semangat masih menagih
Agar hari mencatat sejarah teori berevolusi menjadi prasasti
Sebagai bukti surga ada di bumi

Batin terhempas
Takkala angin berhembus dari arah berbeda
Membawa cita berbaur tak bermakna
Meninggalkan hasrat surga sirna dari jiwa

Aku...
Berlari, berlari dan berlari
Lelah dalam raga takkan mampu menghentikan
Langkah kaki yang telah beranjak

Aku...
Menatap angin dan mengejarnya
Sekuat tenaga meraihnya
Demi surga ada di bumi.

#Saya dedikasikan puisi ini untuk teman guru (kd) satu sekolah yang sedang tertimpa kesalahpahaman

Tulisan ini telah dipublikasikan di kompasiana.com pada tanggal 31 Agustus 2016

KARTU INDONESIA PINTAR (KIP) JANGAN DI SALAH GUNAKAN

Kartu Indonesia Pintar | Sumber: Dapodikdasmen

Program Indonesia Pintar (PIP) merupakan satu langkah pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan di negara ini. Melalui penjaminan bagi masyarakat untuk menikmati layanan pendidikan dasar hingga menengah, pendidikan keterampilan, formal atau nonformal, diharapkan akan tercipta sumber daya manusia yang siap bersaing dalam kompetisi global. Penjaminan akan pendidikan ini diatur dalam PIP yang kemudian akan dididata dan diberikan melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP). Jumlah bantuan KIP per semester sebesar Rp225.000,00 untuk tingkat SD/sederajat, Rp375.000,00 untuk tingkat SMP/sederajat, dan Rp500.000,00 untuk tingkat SMA/sederajat.

Sekalipun dana yang diberikan masih tergolong minim, KIP dalam PIP yang merupakan bantuan bagi mereka yang dianggap tidak mampu untuk membiayai sekolah, masih saja ada oknum yang berusaha mencari keuntungan pribadi. Dengan dalih membantu orang tua, oknum tersebut berupaya memperoleh keuntungan dengan melakukan "pungutan liar" dari masyarakat yang kurang mampu.

***

Baru-baru ini, sekolah tempat saya mengajar, kedatangan tamu. Banyak orangtua siswa yang telah tamat dari sekolah yang meminta surat keterangan bahwa anaknya pernah bersekolah di sekolah tersebut. Menurut cerita mereka, ada orang yang mengaku dari Dinas Sosial yang menyampaikan kepada orangtua cara pencairan dana Kartu Indonesia Pintar (KIP).

Para orangtua diminta untuk meminta surat keterangan ke sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Kemudian surat keterangan tersebut akan dikumpulkan bersama fotocopy raport dari masing-masing tingkat sekolah dan dikumpulkan oleh oknum dari Dinas Sosial tersebut.

Karena tidak sesuai dengan informasi yang diperoleh pihak sekolah, kemudian saya (ditugaskan untuk urusan kesiswaan) dan operator sekolah mencoba menjelaskan prosedur pencairan dana KIP yang terjadi di sekolah. "Bapak/ibu, mengenai KIP, Bapak/Ibu cukup memberikan fotocopy KIP dan diserahkan kepada operator sekolah anak ibu bersekolah. Nanti operator sekolah akan menginput data KIP ke Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Kemudian berdasarkan data yang dari Dapodik, dana KIP akan dikirim ke bank yang ada di daerah tersebut.

Selanjutnya pihak bank akan memberi informasi kepada dinas pendidikan setempat agar diumumkan kepada pihak sekolah. Setelah sekolah memperoleh informasi daftar nama yang akan menerima dana KIP, sekolah akan menghubungi siswa untuk mengumpulkan fotocopy KTP orangtua, kartu keluarga, data identitas raport, dan surat keterangan dari sekolah, yang nanti akan dikirimkan ke pihak bank.

Setelah bank menerima berkas, kemudian orangtua akan dihubungi untuk menerima uang langsung dari pihak bank". Ungkap saya kepada orangtua sembari tetap memberikan apa yang mereka minta. Karena sekalipun sudah diberitahu prosedur, orangtua masih menganggap perwakilan dari Dinas Sosial tersebut yang harus diikuti.

Di lain peristiwa, ada juga orangtua yang anaknya baru saja mendapat KIP dari kelurahan, datang ke sekolah. Dari pihak kelurahan saat menyerahkan KIP, para orangtua diminta untuk pergi ke sekolah untuk meminta surat keterangan sekolah dan membawanya ke bank bersama fotocopy raport untuk menerima dana KIP. Seharusnya orangtua disarankan untuk melapor ke sekolah untuk di data dalam Dapodik.

***

Ketidakpahaman akan prosedur merupakan salah satu yang tepat dimanfaatkan oleh oknum untuk mencari keuntungan. Selain itu, Program Indonesia Pintar kurang melibatkan peran sekolah secara optimal. Sekolah hanya berperan untuk mendata melalui Dapodik, itu pun setelah siswa yang berkaitan telah menerima kartu dari kelurahan. Sementara dari pendataan yang layak menerima KIP sampai siswa tersebut menerima KIP, sekolah tidak pernah dilibatkan.

Sementara orangtua yang sudah "terdoktrin" akan pencairan, pencairan, dan pencairan, tidak pernah berpikir tenang untuk memahami prosedur yang diberikan. Adanya keinginan untuk mencairkan dana secepatnya menjadi alasan utama untuk mengikuti prosedur yang tidak lazim.

Prosedur Pencairan Dana KIP


Prosedur yang tepat untuk dapat menerima dana bantuan KIP, bagi anak (siswa) dapat dibimbing orangtua yang sudah menerima kartu segera mendaftarkan KIP ke sekolah untuk didata dalam sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik), kemudian sekolah melalui operator sekolah segera memasukkan data KIP/KKS ke aplikasi Dapodik. 

Selanjutnya, setelah menerima pemberitahuan dari lembaga pendidikan formal ataupun nonformal tempat anak terdaftar, siswa/orangtua dapat mengambil secara langsung manfaat program KIP ke lembaga/bank Penyalur yang ditunjuk dengan membawa dan menunjukkan beberapa dokumen pendukung berupa Surat Pemberitahuan Penerima bantuan PIP dari lembaga pendidikan formal ataupun nonformal, dan salah satu bukti identitas lainnya (Akte Kelahiran, Kartu Keluarga, Rapor, Ijazah, dll) ke lembaga penyalur yang ditunjuk.

Tulisan ini telah dipublikasikan di kompasiana.com pada tanggal 20 Agustus 2016

11/1/16

WAKTU ITU


Tahun jauh dari kesombongannya 
tidak memandang detik dengan sebelah mata 
bahkan sepanjang hidupnya hanya berpasrah dironrong oleh detik 
hingga nanti masa kejayaanny berlalu

Abad juga membisu dan tersenyum 
memelas melihat perilaku sidetik
Dengan yakin bahwa kekuasaannya pun juga pasti berlalu. 

Semoga kita juga tidak terlelap 
Dalam bentang angin sepoi-sepoi dan bias cahaya matahari 
Karena cahaya itu akan membakar dan angin menggalakannya
Dan saat itu, hanyalah detik yang menyaksikannya untuk dibisikkan pada waktu.

Tulisan ini telah dipublikasikan di kompasiana.com pada tanggal 01 Juli 2016

10/31/16

KEMDIKBUD: PRESTASI PENTING, JUJUR UTAMA - MASYARAKAT : JUJUR UNTUK APA?


Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengajak pelaku pendidikan dan juga peserta didik yang mengikuti Ujian Nasional (UN) 2016 untuk mengutamakan kejujuran. Hal ini diharapkan untuk membentuk karakter jujur peserta didik yang selama ini telah dinodai ketika pelaksanaan UN. 

Dengan alasan "kasihan" jika tidak lulus, para peserta didik "dididik" untuk berlaku curang. Namun, semenjak tahun 2015, tidak ada patokan nilai sebagai persyaratan lulus bagi peserta didik. Ini sedikit memberikan kelegaan, namun yang menjadi pertanyaan, apakah seluruhnya benar-benar jujur ketika melaksanakan UN 2016?

Kemendikbud baru saja merilis bahwa kejujuran siswa dalam pelaksanaan UN tahun 2016 meningkat. Hal ini dilihat dari peningkatan Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN). IIUN merupakan penilaian baru yang dimunculkan oleh Kemdikbud dengan cara mengamati kesamaan pola jawaban peserta didik dalam mengikuti UN. Semakin sama polanya, maka Indeks Integritasnya semakin kecil.

UN SMP tahun 2016 diikuti sejumlah 4.372.872 siswa dan 60.067 satuan pendidikan. Sebanyak 72 persen sekolah mengalami peningkatan IIUN, dibandingkan dengan tahun lalu. Sehingga, terdapat kenaikan jumlah sekolah yang memiliki IIUN di atas 80, yaitu sebanyak 23.634 sekolah atau setara 44,03 persen. Tercatat, pada tahun 2015, terdapat sebanyak 12.039 sekolah yang memiliki nilai IIUN di atas 80 atau sebesar 23,44 persen. (Sumber: Siaran Pers Kemdikbud - Indeks Integritas Ujian Nasional SMP/MTs Meningkat  10 Juni 2016)

Dari informasi yang disampaikan oleh Kemdikbud, hanya ada 44,03 persen sekolah yang memiliki IIUN diatas 80, sisanya sebesar 56,97 persen IIUN dibawah 80. Sekalipun meningkat, ini masih sangat mengawatirkan karena masih banyak sekolah yang masih berusaha untuk berbuat curang dalam pelaksanaan UN. Lalu IIUN ini untuk apa?

Berdasarkan sumber yang diperoleh dari Kemdikbud, sekolah yang memiliki IIUN tinggi akan diberikan piagam dan prasasti yang bertuliskan "Sekolah Berintegritas" untuk dipajang di sekolah yang diserahkan langsung oleh Bapak Presiden RI, Joko Widodo dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswdan. Sebuah bentuk apresiasi yang baik bagi sekolah. Namun, apakah ini benar-benar cukup untuk masyarakat yang anaknya bersekolah di sekolah tersebut?

***

Faktanya dilapangan, seorang ibu menelpon saya. Ibu ini adalah orang tua dari siswa yang berprestasi di sekolah saya mengajar.  Ibu ini mengeluhkan bahwa karena dia berdomisili di kabupaten yang berbeda, jadi anaknya (siswa saya) harus melalui jalur Luar Kota.

Dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2016, peserta didik yang mendaftar dibagi dua kategori, dari dalam kota dan luar kota. Dalam kota, itu bagi siswa yang berdomisili satu kota (Daerah tingkat II) dengan sekolah yang didaftar (ditunjukkan dengan kartu keluarga) dan luarkota bagi siswa yang berdomisili berbeda kota (Daerah tingkat II) dengan sekolah yang didaftarkan. Untuk luar kota, kuota siswa yang diterima dibatasi, yaitu sekitar 10 persen dari jumlah peserta didik yang diterima disekolah tersebut. Misalnya, sekolah tersebut menerima 300 peserta didik baru, maka untuk jalur luarkota, peserta didik yang diterima 30 orang, dan jalur dalam kota 270 orang.

Hasil UN anak ibu ini (siswa saya) tidaklah buruk, dengan rata-rata 80,63. Nilai yang jauh diatas rata-rata nasional, yang berkisar 58,57. Namun, pada akhirnya siswa tersebut tidak lulus diterima sebagai siswa baru untuk semua sekolah negeri di kota saya mengajar. Karena untuk semua sekolah negeri di kota saya mengajar, nilai terendah untuk jalur luarkota adalah 90,00.

Persitiwa diatas memang dapat terjadi karena nilai UN peserta didik dari luarkota lebih tinggi dari UN siswa dalam kota. Namun, apakah memang nilai UN yang diperoleh dengan kejujuran seperti apa yang diharapkan oleh Kemdikbud? Lalu dimanakah peran IIUN untuk penerimaan peserta didik baru?

Inilah yang menjadi dilema, untuk apa jujur jika harus mengalami "penderitaan" oleh ketidakjujuran? Masih banyak masyarakat (juga sekolah) yang berpikiran skeptis atas prasasti semata. Masyarakat (juga sekolah) masih menghalalkan segala cara agar anaknya lebih terlihat berprestasi walaupun bukan berdasarakan kemampuannya.

***

Masyarakat tentunya sangat mengapresiasi perhatian pemerintah dalam bidang pendidikan untuk membentuk karakter peserta didik yang baik. Selain membentuk kecerdasan yang tinggi, Kemdikbud berupaya membentuk peserta didik yang berkarakter, agar kedepan pemimpin masa depan Indonesia jauh dari masalah korupsi.

Namun, perlu perhatian lebih untuk hal kejujuran ini. Sekedar saran, 

Alangkah lebih baik jika penerimaan peserta didik tidak hanya berdasarkan nilai UN saja tetapi juga dengan melibatkan IIUN sekolah peserta didik berasal. 
Dibuat standar IIUN untuk sekolah, bagi sekolah yang memiliki IIUN rendah perlu adanya sanksi ringan, sedang, dan berat. Jika ternyata dari tahun ke tahun IIUN masih rendah, sekolah tersebut ditutup.
Dengan demikian IIUN bukan sekedar wacana yang  asal muncul tetapi dapat dipertanggungjawabkan. Semoga kelak, Prestasi dan Kejujuran berjalan Selaras dalam pendidikan di Indonesia.

Tulisan ini telah dipublikasika di kompasiana.com pada tanggal 30 Juni 2016.

10/29/16

SALAH SIAPA?


"Kenapa anak saya tinggal kelas? Anak saya tidak pernah cabut, tidak merokok, tidak memperkosa seperti yng di televisi, tidak menngunakan napza." Teriak seorang ibu di ruang BP karena tidak terima anaknya tinggal kelas. Kemudian setelah diberikan penjelasan kriteria kenaikan, ibu itu dengan emosinya mengoyak buku rapor anaknya sambil berucap kata-kata kasar dan jorok. Ibu itu pergi meninggalkan sekolah. Namun tidam berapa lama, dia iembali datang dengan suaminya dengan cara yang tidak sopan sembari mencaci maki mencari orang yang bertanggung jawab atas ketidaknaikan anaknya. Pihak sekolah berupaya menjelaskan namun kedua orangtua tersebut berperilaku arogan menjurus membuat kerusuhan.

Sepaham saya, ketika masih menjadi pelajar hingga sekarang menjadi pengajar, naik dan tinggal kelas merupakan hak lumrah dalam proses pendidikan di sekolah. Karena di dalam proses pendidikan sekolah, tepatnya proses belajar mengajar, terdiri dari tahap rencana, pelaksanaan, dan evaluasi.

Melalui tahap demi tahap, peserta didik dibimbing untuk menguasai materi pelajaran (kognitif), meningkatkan keterampilan (psikomotorik), dan berkarakter (afektif). Ketiga tahap inilah yang menjadi kriteria kenaikan kelas ataupun kelulusan. Dengan menimbang kriteria ini, dalam rapat dewan guru (evaluasi), peserta didik diputuskan layak atau tidak. Atau dapat juga dirumuskan, dalam pengambilan keputusan naik atau tinggal kelas, ada proses panjang yang harus dilalui.

Peristiwa hari ini, dalam pemahaman saya, mengundang evaluasi lanjutan dari proses pendidikan selama ini. "Tak ada asap jika tak ada api". Peristiwa ini terjadi mungkin akibat perubahan pemahaman pendidikab.

Mungkin peristiwa yang sama juga terjadi di beberapa sekolah lainnya di Indonesia. Peristiwa ini seolah mengisyaratkan adanya pemahaman yang salah akan pelaksanaan selama ini.

Untuk memudahkan pemahaman, beberapa contoh berikut menjadi alasan keluarga (orangtua) "termanjakan" dalam kesewenangan pendidikan.

Orangtua mewujudkan sayang yang salah. Anggapan yang salah bahwa rasa sayang terhadap anak dengan memberikan semua apa yang diminta anak. Sebaiknya, rasa sayang diwujudkan dengan memenuhi apa yang benar menjadi kebutuhan anak.
Masih berkaitan dengan pemahaman rasa sayang yang salah. Orangtua sering menyalahangunaan Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA). UUPA menjadi senjata atas usaha melindungi kenakalan anak-anak, tanpa melihat kronologi peristiwa. Bahkan ketika nengetahui kronologi sebenarnya, orangtua masih acapkali menganggap anaknya tidak pernah salah. Tidak sedikit orangtua yang juga mencari keuntungan atas UUPA ini 
Keterpurukan Ujian Nasional. Selama 10 tahun, pelaksanaan UN mengundang banyak kecurangan. Kecurangan ini yang "meninabobokan" fungsi orangtua sebagai pengawas perkembangan anak. Adanya upaya pemaksaan kelulusan peserta didik mencapai 100% menjadi alasan orangtua beranggapan apapun tingkah anaknya, pasti akan lulus.
Ketiga alasan ini yang membuat orangtua merasa kenaikan atau kelulusan merupakan hak yang harus diterima seorang anak jika ia bersekolah. 

Sebagai pendidik, melalui tulisan ini saya mengajak orangtua sebagai mitra dalam mendidik dan membangun karakter anak. Memang ada rasa tidak enak ketika harus mengetahui anak tinggal kelas, tetapi lebih tidak baik membiarkan anak hidup dalam ketertinggalannya.

Sepertinya hal belajar mengendarai sepeda, ada anak yang harus jatuh berulangkali sampai akhirnya dia mahir mengendarainya. Tapi apakah kita akan menghentikan anak belajar naik sepeda ketika dia terjatuh? Atau apakah kita dikatakan tidak sayang ketika kita melihat anak kita terluka ketika jatuh belajar mengendarai sepeda?

Sayangi anak Anda dengan kasih yang benar jika ingin ia hidup.

Tulisan ini telah dipublikasikan di kompasiana.com pada tanggal 04 Juni 2016 

KISAH LUPA KASIH

Mata terpaku selaras batu
Seolah rasa hilang tiada terang
Dimana sosokmu dulu yang kukenang
Tengah api dalam damai tenang

Mengapa kau berkhianat
Tak ingatkah kau yang menunjukan alamat
Menyampaikan amanat
Seraya menjauhi kiamat

Apa yang sedang engkau cari
Kini, banyak insan yang menjujungmu tinggi
Tetapi engkau tetap menggangap terzolimi
Banyak yang menaruh hati
Tetapi engkau ingkar janji

Lupakah engkau..lupakah engkau..
Bagaimana kisahmu lampau
Kau hidup bersahaja tanpa galau
Tanpa kata dirimu begitu kemilau

Tetapi sekarang, kau bukanlah dirimu lagi
Terlena uang menggadai cinta
Kasih yang terbeli
Tanpa menimbang cita

Haruskah kuberteriak sumpah
Membecimu selamanya
Dan melupakan semua kisah

Kembalilah dan lihatlah
Banyak tangan menanti arah
Mencari penyejuk amarah
Rangka mewujudkan asa

Tulisan ini telah dipublikasikan di kompasiana.com pada tanggal 03 Juni 2016

INI BUKUKU, MANA BUKUMU?


"Sepertinya yang menjadi Instruktur Nasional (IN) yang dipilih selain karena nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) tinggi, juga karena telah bergelar Magister. " Seorang guru PKn menyampaikan pemikirannya kepada kami saat sedang diskusi kecil mengenai hasil UKG 2015 kemarin.

"Ya iyalah, masak guru yg membimbing guru yang tidak lulus sama-sama bergelar strata satu." Tambah seorang guru IPS mendukung ungkapan teman tadi.

"Itulah memang negara kita, padahal kalau di Negara lain, siapa yang benar-benar mampu itu yang akan dipilih sekalipun masih lulusan S-1." Guru PKn tadi semakin yakin akan ungkapannya. "Padahal, kalau kita lihat, banyak yang sudah bergelar S-2, tapi nggak tahu apa-apa. Tapi bagaimanalah, negara kita masih mengutamakan kertas selembar (ijazah) itu.

Setelah sekian panjang mendengarkan mereka membandingkan lulusan dalam negeri dengan luar negeri, saya berpendapat, "Kalau menurut saya, untuk tingkat pendidikan yang sama, disiplin ilmunya juga pasti sama. Tapi yang membedakan lulusan kuta dengan negara lain terletak ada kualitas dan kuantitas membaca."

Inilah yang menjadi pembeda antara perkembanagan kemampuan lulusan pendidikan Indonesia dengan pendidikan yang ada di luar. Menurut hasil survei UNESCO di tahun 2012, tingkat literasi Indonesia sangat bagus mencapai 93% namun berdasarkan survey tersebut, minat membaca sangat rendah, dari 1000 orang yang dapat membaca, hanya ada 1 orang yang minat untuk membaca. Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan membaca belum mengakar pada budaya kita.

Persebaran buku pun tidak merata dan masih terpusat di kota-kota. Jumlah buku yang diterbitkan setiap tahunnya pun masih sedikit. Sekitar 30 ribu judul buku per tahun dibanding penduduk Indonesia yang kurang lebih 250 juta orang (IKAPI 2014).

Seperti yang diketahui, buku adalah sumber ilmu dan jendela pengetahuan. Membaca buku yang tepat dapat membantu berpikir kritis serta melatih kemampuan menampilkan pengetahuan yang dimiliki. Melatih minat baca bisa dimulai dengan memperkenalkan budaya membaca pada anak sedini mungkin.

Kegiatan Membaca di Perpustakaan (Sumber: Dokumen SMP N 9 Pematangsiantar)


Gerakan Ini Bukuku Mana Bukumu

Kemampuan akademik siswa dimulai dari kemampuan mengolah kata dalam berbahasa secara lisan maupun tulisan.

Beranjak dari sinilah, sekolah (tempat kami mengajar) sedang berupaya melakukan satu gerakan semesta untuk meningkatkan minat belajar siswa. Salah satu langkah yang sekolah lakukan adalah mengajak partisipasi orangtua dan siswa dalam meningkatkan minat membaca. Gerakan ini kami awali dalam kegiatan masa orientasi siswa (MOS) baru. Pada saat kegiatan MOS, siswa baru diminta untuk membawa buku apa saja (yang berkaitan dengan pendidikan) baik bekas maupun baru. Sekolah memberikan kebebasan kepada siswa dalam menentukan buka yang akan dibacanya, dengan harapan dari niat awal ini menjadi motivasi baginya untuk meningkatkan minat membaca buku yang lain. Dalam hal ini, sekolah mengajak partisipasi masyarakat dan orangtua bekerjasma dengan sekolah untuk melatih minat membaca siswa. Kemudian buku itu akan dikumpulkan di kelas masing-masing dan dimasukkan dalam sebuah box. 

Buku-buku yang dikumpulkan akan dibaca oleh siswa itu sendiri selama 15 menit diawal pembelajaran (jam sekolah 07.30 WIB - 07.45 WIB). Hal ini berkaitan dengan Program Literasi Pemerintah, bahwa sekolah menyediakan waktu 15 menit awal setiap hari untuk kegiatan membaca siswa (Permendikbud No. 23 Tahun 2015). Siswa akan membaca buku yang dibawa dan telah dikumpulkan setiap hari sesuai dengan waktu yang telah dikumpulkan. Jika waktu telah mencapai 15 menit, buku tersebut dikumpulkan kembali dan disimpan dalam box untuk dilanjtkan esok hari. Demikian berlangsung setiap hari sampai buku yang dibawa oleh siswa sendiri selesai untuk dibaca.

Jika buku telah selesai dibaca, maka siswa dapat saling bertukar buku bacaan sesuai dengan buku yang telah dibawa oleh teman laiinya. Setelah meneumukan buku dari teman, maka siswa akan melanjutkan kegiatan 15 menit awal dengan membaca buku dari temannya. Inilah yang diharapkan, siswa saling menunjukkan minat membaca kepada temannya.

Kegiatan ini tengah dan akan terus diupayakan di sekolah tempat saya mengajar. Kegiatan ini diaharapkan menjadi kebiasaan sehingga siswa benar-benar memiliki minat membaca kapanpun dan dimanapun. Harapan yang lebih jauh, dengan minat membaca yang baik, siswa mengeksplor kemampuan dan keterampilannya sebagai hasil dari bacaanya. Kebiasaan-kebiasaan ini dharapkan menjadi budaya di lingkungan sekolah.

Semoga kegiatan ini menjadi salah satu kegiatan yang boleh dilakukan oleh banyak sekolah, sehingga siswa-siswa memiliki minat membaca yang tingdi, yang secara tidak langsung akan meningkatkan pendidikan di Indonesia.

Tulisan ini telah dipublikasikan di kompasiana.com pada tanggal 29 Mei 2016

INI SEKOLAH BUKAN TEMPAT BISNIS.


Mimpi bagai kekuatan positif untuk mengangkat seseorang lebih tinggi dari keadaan sebelumnya. Sekalipun tidak tercapai, kekuatan tersebut membuka jalan lain utuk membuatnya lebih baik.

Teman saya kuliah di Program Pascasarjana, Universitas Negeri Medan, tahun 2013, mengingatkan saya akan sebuah mimpi yang masih terus menjadi mimpi sampai saat ini. DIa meneruskan kepemimpinan di Yayasan Pendidikan yang dibuka oleh orangtuanya. Ketika dia mempromosikan sekolahnya ke masyarakat setempat, dia menawarkan sekolahnya dari pintu ke pintu. Sehingga orangtua benar-benar berinteraksi dengan pimpinan sehingga orangrtua benar-benar mengetahui sekolah yang cocok dengan anaknya dan pihak sekolah mengetahui apa yang diinginkan masyarakat.  Teman ini mengingatkan saya akan mimpi saya yang pernah muncul jauh lama sebelum saya menjadi salah seorang pengajar di sekolah negeri  di Kota Pematangsiantar. 

Tahun 2007 ketika saya masih seorang mahasiswa semester VII di Universitas Negeri Medan (UNIMED), ada salah satu mata kuliah yang harus diikuti, Praktik Penyuluhan Lapangan Terpadu (PPL-T). PPL-T merupakan program perkuliahan wajib pada Lembaga Perguruan Tinggi Kependidikan (LPTK) dengan bobot 8 SKS. PPL-T mengirimkan mahasiswa ke sekolah-sekolah yang bekerjasama dengan universitas untuk mempraktikkan kompetensi dan keterampilan yang diajarkan pada perkuliahan di kampus. Jadi, selama mengikuti PPL-T, mahasiswa tidak hanya mengajar tetapi juga melakukan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat yang ada di sekitar sekolah. Kegiatan penyuluhan dapat berupa kegiatan keagamaan, keolahragaan, atau kegiatan yang bermasyarakat. 

Kala itu, universitas mengirim saya dan teman-teman dari mahasiswa jurusan lain ke salah satu sekolah swasta di Kota Tebing Tinggi. Selama saya melaksanakan PPL-T di sekolah tersebut, saya mengamati siswa di lingkungan sekolah. Setiap hari saya melihat siswa mengenakan seragam namun dengan tata pakaian yang sembarangan. Banyak siswi yang mengenakan pakaian yang tidak mencerminkan seorang pelajar. Rok yang relatif mini (jauh diatas lutut), dasi yang diikatkan pada leher baju dengan kancing bagian atas terbuka. Namun pemadangan berbeda dengan gurunya, bapak guru disekolah ini diwajibkan mengenakan pakaian rapi lengkap dengan dasi, dan ibu guru mengenakan pakaian resmi dan rapi. 

Karena tidak sesuai dengan yang saya pahami selama kuliah, saya tegur seorang siswi untuk memperbaiki cara berpakaiannya. Tidak beberapa lama, kepala sekolah memanggil saya ke kantornya. Saya masih sangat ingat, kala itu Bapak itu berkata, "Pak, sekolah kita ini adalah sekolah swasta yang sangat tergantung dengan jumlah siswa. Jika kita tidak punya siswa (sedikit) maka akan berdampak guru-guru yang ada di sini. Maklum Pak, kita dapat gaji dari mereka. Jadi, saya harap, Bapak selama PPL di sini tidak terlalu ambil pusing dengan siswa, apalagi hanya sekedar berpakaian".

Dari peristiwa itu, selama mengikuti PPL-T saya hanya sekedar mengajar tanpa peduli dengan perilaku siswa. Saya yang hanya merasa sebagai mahasiswa praktek merasakan bahwa ada karakter guru yang terkekangi, lalu bagaimana dengan guru yang ada disini. Namun, guru di sini juga pasrah dengan keadaan, mereka seolah kompromi dengan keadaan demi pemenuhan kebutuhan sekalipun ada perasaan yang tertekan. Ini bisnis, bukan sekolah. Pendidikan menjadi nomor dua demi sebuah keuntungan. Dari sinilah muncul mimpi itu. Saya ingin membangun sebuah sekolah atau yayasan pendidikan yang benar-benar bertujuan untuk mendidik bukan untuk mencari keuntungan. 

Bahkan jika kita lihat sampai saat ini masih banyak sekolah yang lebih mencari keuntungan daripada pendidikannya. Ada beberapa guru yang pernah berbincang-bincang dengan saya, mereka seolah tidak memiliki harga diri, yang penting bagi yayasan adalah siswa yang terdaftar disekolah tersebut membayar iuran sekolah. Padahal jika kita lihat saat ini, pemerintah membantu biaya operasional melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang besarannya sama dengan sekolah negeri. Ini artinya, bahwa sekolah setidaknya dapat memfokuskan visi sekolah untuk mencapai misinya.



Bangun dan Mimpi masih Sama

Inilah mimpi yang sedang saya coba wujudkan. Saya coba pelajari cara membuka sekolah, ternyata memang memerlukan biaya yang besar. Awalnya saya komunikasikan dengan orangtua, beliau menyambut baik, dia sarankan untuk membuka yayasan dulu. Selanjutnya saya dan beliau berusaha untuk mempelajari cara untukmembuka yayasan. Wow, ternyata tidak semudah yang saya pikirkan. Harus urus lokasi, urus notaris, kepengurusan dan lain sebagainya yang membuat saya semakin tertekan. Kami menyerah dan mimpi saya masih tetap mimpi.

Kemudian muncul secerca sinar harapan dalam mewujudkan mimpi. Kementrian Pendidikan membuka jalan dengan lebar bagi masyarakat yang mau berpartisipasi dalam membuka sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Bersama dengan saudara saya, kami mencoba mempelajari untuk membukanya. Kami berputar menemukan lokasi yang tepat dan untuk siapa sasaran sekolah ini diadakan. Sampai akhirnya kami menemukan sebuah lokasi, jauh dari rumah, ada tempat yang bisa dikontrak. Namun, mungkin karena memang waktu yang tidak tepat, tempat yang mau dikontrak itu telah dikontrak terlebih dahulu oleh toko waralaba. Lagi-lagi, mimpi masih sama.

Sulit dan hampir menyerah. Saya bangun dan ternyata mimpi masih sama. Saya coba bangun dan mengerjakannya, namun masih tetap sama. Sekarang, saya pasrah dan realistis, membangun sekolah memang harus memiliki modal besar. Sementara untuk mengumpulkan modal rasanya mustahil.

Ini yang saya yakini, dalam mimpi saya, masih ada harapan dan kekuatan. Sekolah yang saya impikan saya bangun dengan jalan lain. Sekolah yang sedang saya bangun dengan mengajak anak didik kumpul bersama seusai pulang sekolah. Terkadang kami berkumpul untuk berolahraga, kadang kami saling berdiskusi mengenai pelajaran. Intinya kami berkumpul untuk hal positif dengan memanfaatkan lingkungan sekolah. Harapannya, saya selaku pengajar mengerti yang mereka mau dan siswa termotivasi untuk lebih ubtuk belajar.

Mungkin mimpi saya akan tetap menjadi mimpi. Tetapi ada bagian minpi yang menjadi pandangan dan kekuatan baru. "Sekolah tidak dibatasi oleh gedung, karena sekolah seharusnya bertujuan mewujudkan manusia seutuhnya. Ada atau tidak ada gedung, sekolah harus menjadi wadah pembentukan karakter manusia. Pandangan baru yang nemberikan kekuatan untuk memberikan pengajaran terbaik kepada siswa di tempat saya mengajar."

Tulisan telah dipublikasikan di kompasiana.com pada tanggal 25 Mei 2016.

10/28/16

REVOLUSI MENTAL


Tadi pagi seketika bagun dari tempat tidur, saya teringat dengan bangsa ini. Muncul dalan pikiran saya, apakah hari ini ada perubahan di Indonesia? Mungkin ini efek dari perbincangan antara saya dan isteri kemarin malam.

Ceritanya berawal ketika kami berencana membeli rujak buah (di kota kami Pematangsiantar, cukup terkenal dengan konsep makan rujak di taman bunga) pada sore hari menjelang malam. Diperjalanan saya melihat seorang ibu berjalan lemas seraya dipapah oleh putranya.

Setahu saya lokasi tersebut adalah pusat perbelanjaan. "Kenapa ibu itu berjalan seperti tidak berdaya?" Tanya saya pada istri.

"Mungkin ibu itu sakit. Di sekitar situ banyak dokter praktek. Jadi mungkin ibu baru saja keluar berobat." Jawab istri saya.

Sambil melanjutkan perjalanan saya berpikir, "Jika memang Rumah Sakit dan Puskesmas berjalan dengab baik, apakah mungkin ada praktik dokter? Jika memang untuk pelayanan kesehatan, mengapa tidak dipusatkan di rumah sakit? Jika memang mengatasnamakan pelayanan, mengapa dokter memiliki jadwal yang jitu di praktik dibandingkan dengan jadwal yang di rumah sakit? Bahkan beberapa kali tertemu saya, banyak pasien terlantar di rumah sakit, tetapi tidak pernah menemukan pasien yg terlantar di tempat praktik dokter?"

Sepanjang perjalanan pikiran saya benar-benar mengambil ahli fokus saya, jika tidak disadarkan istri, kami akan kembali ke rumah tanpa membeli rujak yang kami rencanakan.

"Ah..Indonesia. Siapakah yg patut bertanggungjawab atas semua ini?" Pikiran saya sambik menarik nafas dalam. Kamipun memesan rujak untuk dibungkus agar dimakannya di rumah.

Inilah mungkin yang menjadi penyebab mengapa saya bangun dengan nasionalisme tinggi. Saya teringat akan Indonesia, mungkinkah Indonesia berubah? "Banyak pernyataan pesimis kini yang muncul, siapapun presidennya, Indonesia akan seperti ini. Tunggu benar-bebar kejadian besar terjadi yang akan membuat Indonesia sadar."

"Benarkah Indonesia sulit berubah? Siapa yang dapat mengubah bangsa ini?" Inilah pertanyaan yang muncul pertama kali dalan pikiran saya pagi hari ini. Begitu membuka mata, pikiran ini langsung mengajukan dirinya dalam pikiran saya.

"Saya! Ya saya, mampu mengubah Indonesia." Dan inilah yang muncul tidak beberapa saat setelah pertanyaan pesimis itu datang. Pikiran yang membuat saya bersemangat hari ini.

Indonesia bisa berubah oleh satu orang. Orang tersebut adalah 'saya'. Saya tidak perlu menunggu Presiden Jokowi untuk mengubah Indonesia. Saya tidak perlu menunggu Ahok marah-marah lagi untuk mengubah Indonesia. Saya tidak perlu menunggu Ridwan Kamil dengan desain kebijakannya menjadi presiden untuk mengubah Indonesia. Saya tidak perlu menunggu Ganjar atau Risma menjadi presiden untuk mengubah Indonesia. Karena yang diperlukan Indonesia untuk berubah adalah 'saya'.

Ketika saya, saya, dan saya mau berubah maka Indonesia pasti akan berubah. Tidak sulit menjadikan Indonesia Jaya, hanya ada pada satu orang, yaitu 'saya'.

Menyalahkan orang, menyalahkan institusi atas kemerosotan negeri ini sangatlah mudah. Mengkambinghitamkan orang lain atas keterpurukan bangsa ini juga sangatlah mudah. Semudah mengomentari tersebutlah untuk mengubah bangsa ini. Hanya perlu 'saya' untuk mengubah Indonesia. Mengubah 'saya' sama dengan mengubah Indonesia.

Tulisan ini saya dedikasikan bagi 'saya' yang berjuang bagi Indonesia sekalipun rasa pesimis masih mencampuri pikiran.

Tulisan ini telah dipublikasikan di kompasiana.com pada tanggal 24 Mei 2016

10/27/16

HADIAH HARI GURU


Hymne Guru
Terpujilah Wahai Engkau/ Ibu Bapa Guru / Namamu akan selalu hidup / Dalam sanubariku//
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku/ Bagai prasasti trima kasihku tuk pengabdianmu//
Engkau Sebagai pelita dalam kegelapan/ Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan/ Engkau patriot pahlawan bangsa/ Tanpa tanda jasa//
Perayaan Hari Guru merupakan suatu momen yang sangat mengharukan bagi guru di Indonesia. Tepat tanggal 25 November 2015 nanti, guru akan merayakan hari jadinya yang ke-70. Pada perayaan seperti ini biasanya warga sekolah terkhusus OSIS menyelenggarakan berbagai kegiatan sebagai bentuk penghormatan dan terima kasih atas dedikasi guru di sekolah tersebut. Perayaan ini juga meleburkan hubungan guru dan peserta didik menjadi lebih akrab. Ada rasa haru yang menyelimuti tatkala lagu Hyme Guru dinyanyikan oleh siswa. Tak jarang juga, siswa memberikan kado sebagai rasa sayangnya kepada guru. Hari Guru ini bagaikan kemerdekaan bagi guru.

Rangkaian kegiatan dilakukan dan pada puncaknya pelaksanaan Upacara dalam mempenringati Hari Guru Nasional. Pada upacara biasanya akan dilakukan penyematan bunga dan diiringi lagu Hyme Guru. Di saat inilah, guru merasakan bahagia yang tidak ternilai harganya.

Menjelang perayaan Hari Guru Nasional ke-70 pada tanggal 25 Nopember nanti, saya dikejutkan dengan sebuah "hadiah" menarik dari salah seorang murid ditempat saya mengajar. Bukan sebuah benda mahal, berkisar harga Rp. 500, namun sangat berpengaruh besar dalam pikiran dalam beberapa minggu ini.

Secara tidak sengaja saya menemukan "hadiah" tersebut dalam komputer saya, tampilannya seperti ini.

Ketika pertama kali menerima "kado" ini, serasa seluruh tubuh merasakan aliran darah yang mengalir kencang. Ada rasa emosi yang mencuak sampai di kepala (terkhusus dengan kalimat, "kau pikir kami dah bangga kalii punya (W.L.K.L.S - Walikelas) kayak kau hak.!"). Karena dalam pikiran bahwa saya telah memberikan segala potensi untuk keberhasilan siswa. Berulang kali di baca semakin itu juga rasa amarah ini semakin menggerogoti pikiran. Namun begitu, semakin memuncaknya rasa amarah semakin sering pula untuk membacanya.

Sampai akhir berhenti di sepenggal kalimat, "kau sepelekan kami". Kata-kata ini yang seakan membalikkan segala amarah. Sembari sambil menenangkan pikiran, berulang kali juga mencerna kalimat ini (walau kalimat ini sangat menekankan amarah). Dalam upaya ini, pikiran terus berulang kali merekonstruksi semua kejadian ketika dalam proses belajar mengajar di kelas. Berusaha mengingat, kata-kata apa yang telah terlontar ketika belajar di kelas.

Hal ini sering terjadi dalam PBM, mungkin juga pernah dialami oleh banyak orang. Guru sering melupakan bahwa siswa merupakan (1) pribadi yang unik, mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing, (2) siswa bukan orang dewasa, jalan pikiran mereka tidak selalu sama dengan jalan pikiran orang dewasa, (3) dunia siswa adalah dunia bermain, (4) usia siswa merupakan usia yang paling kreatif dalam hidup manusia, dan (5) dunia siswa merupakan dunia aktif belajar.

Kelima ciri ini sering diabaikan ketika proses belajar mengajar. Apalagi ketika siswa tidak sesuai dengan apa yang diharapkan guru. Guru sering memandang cara pikir siswa sama dengan cara pikir orang dewasa. Contoh yang menunjukkan fakta ini, guru sering berucap, "mau jadi apa kamu kelak kalau kamu seperti ini?" Kalimat ini tentunya mengadung makna, bahwa kita beranggapan, bahwa siswa (apalagi siswa yang masih duduk di tingkat dasar) sudah kuatir dengan masa depannya, layaknya pikiran orang dewasa.
Belum lagi, guru sering memaksakan cara belajar yang diinginkan oleh guru, tanpa peduli dengan dunia siswa yang dialaminya sesuai dengan umurnya. "Bodoh! Kamu tahunya hanya bermain" rangkaian kata yang sering diperdengarkan kepada siswa. Memang tindakan ini didasari keinginan guru untuk kebaikan siswa dalam mengubah perilaku yang akan berguna kelak dalam kehidupannya. Namun, guru masih acap kali untuk berbuat kesalahan yang sama, mengabaikan hal yang paling dibutuhkan siswa.

Sudah sebaiknya, menjelang Hari Guru yang ke-70 untuk beritropeksi diri atas pengabdiannya selama ini. Apakah sudah sepatutnya kita disebut guru, digugu dan ditiru? Sudah benarkah kita menjalankan tugas mulia ini? Ketika lagu hymne guru dinyanyikan, biarlah ini benar-benar menyala dalam pikiran, sehingga kelak guru-guru di Indonesia semakin dewasa dalam mengemban tugas tanpa jasa ini.

Sampai tulisan ini di munculkan, pikiran saya masih dalam kebingunngan yang mendalam. Saya merasa sudah melakukan hal-hal terbaik yang saya punya untuk pembelajaran siswa. Saya sering berpikir, balasan yang tidak sesuai dengan apa yang syaa telah berikan kepada siswa. Peristiwa ini seolah menegur saya untuk tidak menghayal terlalu tinggi. Mengingatkan diri untuk tetap memijakkan kaki di tanah.

Memandang dari tingkat mata yang sama mungkin akan memberikan hasil yang berbeda. Mengubah persepsi bukan perihnya kata-kata yang terangkai, namun lihatlah bahwa kita belum sempurna. Pada akhirnya, "hadiah" ini menjadi hadiah yang sangat berharga saat perayaan hari guru yang saya alami. "Hadiah" yang mengingatkan untuk berbuat yang lebih baik lagi untuk pengabdian ini. Mungkin ada pembentukan karakter yang berbeda jika pemberian hadiah berupa penghormatan semata.

Akhir tulisan saya, saya mengajak teman-teman guru untuk lebih lagi dalam mengabdikan diri dalam pekerjaan mulia ini. Kelak, biarkan Yang Maha Kuasa mempertimbangkan apa yang telah kita lakukan dalam pelayanan ini.

Selamat Hari Guru Nasional Ke-70.

Tulisan ini telah dipublikasikan di kompasiana.com pada 14 November 2015